Biadabnya Pemerkosa Bocah Kerusuhan Mei 1998: Botol Dimasukkan ke Vagina Lalu Dipecahkan di Dalam..!!

Mencerdaskan & Memuliakan - Mei 22, 2023
Biadabnya Pemerkosa Bocah Kerusuhan Mei 1998: Botol Dimasukkan ke Vagina Lalu Dipecahkan di Dalam..!!
 - (Mencerdaskan & Memuliakan)
Editor

JAKARTA, BERSAMA

Telepon dan pager milik Ita Fatia Nadia tak henti-hentinya berbunyi di saat ibu kota Jakarta tengah dilanda kerusuhan pada Mei 1998.

Kondisi ketika itu serba mencekam, gedung dan pertokoan dibakar dan dijarah. Penyerangan terhadap kelompok etnis Tionghoa pun terjadi.

Di antara kondisi yang serba khaos saat itu, Ita menerima kabar tak mengenakan. Ada seorang perempuan di kawasan Pluit, Jakarta Utara yang diperkosa di sebuah apartemen.

Tak beberapa lama kemudian, pager Ita kembali bergetar. Kali ini, informasi menyebutkan pemerkosaan ada di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Korbannya, tiga orang perempuan Tionghoa.

Tak hanya dua itu, sore menjelang malam hari sekitar tanggal 14 Mei 1998, Ita yang kala itu menjabat sebagai salah satu petinggi lembaga pemerhati perempuan Kalyanamitra, tak henti-hentinya menerima kabar bahwa aksi pemerkosaan terjadi di sana-sini.

Masyarakat melaporkan dan meminta pertolongan kepada Ita dan teman-temannya. Ita pun menyusuri satu per satu laporan yang diterimanya bersama teman-teman.

Ada tiga orang perempuan dengan pakaian compang-camping dan muka ketakutan tampak dikerumuni sejumlah pria dekat pertokoan Glodok.

Ita di hari yang sama menemui seorang “Pak Haji” yang
menyelamatkan perempuan Tionghoa. Perempuan itu juga telah diperkosa oleh orang tak dikenal.

Banyak sekali cerita pilu yang ditemukan Ita di hari-hari setelah itu. Ita menyaksikan dengan matanya sendiri betapa kerusuhan telah menggelapkan mata hati manusia.

Dia melihat perempuan-perempuan Tionghoa tak hanya diperkosa tetapi juga dianiaya bahkan alat kelaminnya sengaja dirusak oleh pelaku.

Dari sekian banyak laporan pemerkosaan massal yang diterima Ita, ada satu cerita yang disebutnya masih terus melekat dalam ingatan.

Seperti dilansir Kompas, Ita pun bercerita akan sosok Fransisca, gadis cilik berusia 11 tahun yang turut menjadi korban pemerkosaan pada Mei 1998.

Pada 14 Mei 1998 malam, Ita mendapat telepon. Dia diminta segera mendatangi klinik, ada seorang anak perempuan yang menjadi korban pemerkosaan di kawasan Kota Lama, Tangerang. Di sanalah dia melihat Fransisca pertama kali.

“Kakak dan ibunya telah lebih dulu meninggal karena kasus yang sama. Ibunya diperkosa, kakaknya juga diperkosa hingga meninggal, tersisa Fransisca, dia diperkosa tapi masih bertahan hidup,” kenang Ita.

Saat ditemui, Ita melihat seorang gadis cilik yang cantik. Namun, kondisi Fransisca saat itu memprihatinkan. Dia mengalami pendarahan hebat di kemaluannya.

“Saya datang di sebuah klinik, anak ini masih kecil, cantik. Tapi bleeding (pendaharan) sudah enggak karuan. Jadi dia diperkosa dengan sebuah botol, dan kemudian dipecahkan di dalam,” kata Ita dalam wawancara melalui daring, Rabu (17/05/2023) malam.

Melihat pendarahan tersebut, Ita sempat berbincang dengan dokter. Dokter menyebutkan bahwa kondisi Fransisca sangat sulit.

Tak tega melihat anak kecil itu kesakitan, Ita pun memangku kepala Fransisca yang sedang berjuang seorang diri. Dia bisikkan dengan lembut ke telinganya. “Tidak apa kalau pergi. Di sana sudah ada ibu dan kakak kan menunggu,” kenang Ita.

Ita tampak berkaca-kaca menceritakan kembali memorinya tentang sosok Fransisca.  Ita mengaku ketika itu, entah karena apa, dia rela dan berjanji mengurus gadis malang ini hingga peristirahatan terakhirnya.

Lama-lama, remasan jari-jari Fransisca di jempol kiri Ita melemah. Fransisca pun menghebuskan napas terakhirnya di pangkuan Ita. “Itu sekitar jam 11.15 WIB, dia meninggal di sini saya, saya pangku begini,” cerita Ita.

Setelah Fransisca wafat, Ita masih berucap akan mengantarnya hingga selesai. Mula-mula, ia mendoakan Fransisca bersama seorang bikku.

Keduanya berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing, yakni berdoa secara muslim dan berdoa secara Buddha. Fransisca sendiri beragama katolik, namun pastor sulit ditemui saat itu.

Kemudian, Ita mulai membersihkan pecahan kaca pada tubuh Fransisca memakai pinset. Proses tersebut memakan waktu hingga sekitar 1,5 jam.

“Jadi hampir 1,5 jam pakai pinset saya bersihkan, terus sambil saya ngomong ke dia, ‘Fransiska nanti saya bersihkan, ya. Kamu nanti akan cantik, akan begini, ya,’. Dan itu saya (melakukannya) sendirian saja,” tuturnya.

Setelah pendarahan dibersihkan, Ita memakaikan tampon. Begitu pula membelikan baju untuk dipakai Frasisca esok hari menuju tempat kremasi di daerah Cilincing.

Saat itu, Ita memang sudah berbicara dengan teman satu timnya meminta waktu tiga hari, untuk mengantar Frasisca hingga peristirahatan terakhir. Abu hasil kremasi pun dia urus sendiri. Menyaring abu, memasukkannya ke dalam guci, hingga naik kapal untuk membuang abu Fransisca.

“Sampai sekarang Fransisca seperti menjadi jiwa saya. Kalau saya sedih, sepertinya dia datang. Itu pengalaman saya yang paling dahsyat. Ini sudah enggak bisa, ini sudah melampaui kemanusiaan,” ucap Ita.

Fransisca adalah satu dari sekian banyak potret kelam pemerkosaan massal yang terjadi pada tahun 1998. Bagi Ita, reformasi yang kita rasakan saat ini telah banyak mengorbankan nyawa.

Mereka yang bertahan hidup setelah diperkosa, hidup dengan trauma berkepanjangan. Beberapa di antaranya bahkan memilih mengakhiri hidupnya.

Bahkan, ada sebuah keluarga di Jawa Timur yang sengaja meminumkan baygon kepada anaknya yang menjadi korban pemerkosaan 1998 karena kasihan melihat hidup sang anak.

Sayangnya, kisah kelam Fransisca dan korban-korban pemerkosaan 1998 lainnya kian terkubur. Hingga saat ini, kasus pemerkosaan massal pada Mei 1998 tetap menjadi misteri. Pelaku atau dalang di balik peristiwa tersebut pun belum terungkap hingga 25 tahun kemudian.

Menurut data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk kala itu, korban pemerkosaan mencapai 66 orang. Namun, data hasil temuan Tim Relawan untuk Kemanusiaan mencatat korban pemerkosaan mencapai  165 orang.

Belum lagi dihitung dari para korban yang akhirnya meninggalkan Indonesia dan menetap di luar negeri. Pemerkosaan massal terhadap etnis Tionghoa bukan satu-satunya kejahatan kemanusiaan pada kala itu.

Ada pula penghilangan paksa terhadap mereka yang dituduh terlibat dalam gerakan mahasiswa dan aktivis pro demokrasi. (***)

 

 

IMBAUAN REDAKSI: Virus Corona (Covid-19) mulai mereda. Tapi bukan berarti sudah tak ada. Namun yakinlah Corona takkan bisa berbuat apa-apa kalau kita bersatu dan tetap waspada..!! 💪💪👍👍🙏🙏

Tinggalkan Komentar

Tag

close
Banner iklan disini