“Tarian Jari” : Mulianta Ginting Munthe
Nasib rakyat jelata di negeri ini benar-benar tragis. Dulu dianggap pahlawan, sekarang malah dijadikan “lawan”.
Begitulah nasib para pedagang tradisional di Deli Tua, Kec. Deli Tua, Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara. Para pedagang ini dalam waktu dekat akan digusur dari tempatnya selama ini mencari sesuap nasi. Oligarki itu kejam kawann..!!
Padahal, kala krisis moneter menerjang perekonomian Indonesia bak tsunami pads 1998 lalu, para pedagang itu justru tampil sebagai “pahlawan”.
Tapi setelah krisis berhasil ditaklukkan, kini mereka malah mau “dibunuh” lewat penggusuran. Sungguh tragis nan kejam yang penuh tangis..!!
Begitulah kondisi terkini para pedagang tradisional di Pasar Deli Tua. Ketika banyak pengusaha besar dan modern yang bertumbangan bahkan terindikasi ikut menyumbang datangnya “tsunami” krisis moneter 1998 lalu, hanya pedagang tradisional yang mampu bertahan dari terjangan “badai” ekonomi tersebut.
Dan hanya merekalah yang mampu menjalankan roda perekonomian negara ini. Sedangkan para pengusaha besar banyak yang “bertumbangan” bahkan bangkrut.
Sekarang keberadaan para pedagang tradisional itu malah dipersoalkan. Dengan berbagai tuduhan membuat macet lalu lintas, kota terlihat semrawut dan segudang alasan lainnya.
Ada pepatah mengatakan, kalau tak pandai menari, jangan lantai yang disalahkan. Kalau para pejabat pemerintahan yang tak mampu membuat terobosan menata para pedagang tradisional, jangan menyalahkan keadaan atau orang lain. Sebaiknya instropeksi diri.
Namun, bukan instropeksi diri, Pemkab Deli Serdang malah semakin menjadi. Pedagang tradisonal Deli Tua wajib digusur habis.
Rencana penggusuran pun sudah dimulai, Jumat (25/07/2025) siang. Sebuah rapat untuk merelokasi pedagang tradisional Kota Deli Tua ke Pasar Deli Old Town digelar di kantor Kec. Deli Tua.
Isu adanya pengusaha yang mengincar lahan PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang selama ini menjadi tempat para pedagang tradisional mencari sesuap nasi pun mulai terkuak ke permukaan.
Memang, di mana-mana di negeri ini lahan BUMN menjadi rebutan para pengusaha untuk dijadikan sebagai “mesin uang”. Dan korbannya adalah rakyat jelata.
Lihat saja lahan eks HGU PTPN yang banyak dikuasai pengusaha. Ada yang dibangun untuk perumahan dan lainnya. Sementara rakyat yang lebih dulu mendiami lahan itu malah “diusir” dengan mengerahkan preman dan aparat keamanan.
Kembali ke persoalan pedagang tradisional Deli Tua. Alasan menimbulkan kemacetan dan kota jadi semrawut, terkesan terlalu mengada-ada.
Buktinya, kala camat Deli Tua dijabat Wakil Karo-karo, kondisi para pedagang tradisional itu bisa ditata dengan rapi. Tidak semrawut. Sampah pun nyaris tidak ada karena setiap hari diangkut truk milik pemerintah.
Walau pun semasa dia menjabat camat, rencana penggusuran pedagang pernah mencuat. Tapi gagal setelah para pedagang demo ke DPRD Deli Serdang.
Jadi, alasan jalan macet dan semrawut lebih condong karena pejabat kecamatannya tidak mampu bekerja dengan baik.
Apa lagi kemacetan bukan 100% akibat pedagang. Ada angkot yang sesuka hati mangkal di tepi jalan yang menikung. Ada beca yang mangkal mempersempit ruas jalan. Tapi semua itu dibiarkan pejabat kecamatan.
Kota Deli Tua sebenarnya membutuhkan sosok camat seperti Wakil Karo-karo. Kinerja dan kepeduliannya selama menjabat sudah teruji serta terbukti.
Cuma, mencari sosok camat seperti Wakil Karo-karo untuk saat ini sangat sulit. Sama seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Sulit ketemu walau dicari sampai mati.
Sayangnya, kali ini dia datang sebagai perwakilan pihak pengusaha. Bukan lagi sebagai camat. Pertanyaannya, masihkah Wakil Karo-karo seperti dulu..??
Pedagang pun jadi teringat sebuah lagu lawas, “Aku masih…seperti yang duluu…menunggumuuu…sampai akhir hidupkuuu…,”. (Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab media online www.harianbersama.com)