“Tarian” Jari: Mulianta Ginting Munthe Wakil Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab Media Online www.harianbersama.com
Pagi itu, Senin 22 September 2025, suasana di Pajak (pasar) Deli Tua tempat para pedagang tradisional yang telah puluhan tahun mengais rezeki cukup ramai. Tapi bukan ramai oleh pembeli melainkan “malaikat pencabut nyawa” pedagang tradisional.
Sebuah pemandangan “menyeramkan” terjadi. Lapak-lapak para pedagang tradisional diratakan petugas Satpol PP Pemkab Deli Serdang, Sumatera Utara.
Petugas Satpol PP dan Kecamatan Deli Tua dengan beringasnya membongkar semua lapak-lapak pedagang tradisional yang terbuat dari kayu dan tenda plastik.
Bagi petugas kecamatan dan Satpol PP mungkin itu sebuah kebanggaan karena melaksanakan tugas dari pimpinan. Dengan rasa “PD” yang tinggi, tangan-tangan mereka dengan liarnya “merobek hati” sang “pahlawan” ekonomi hingga terkapar lalu “mati”.
Namun, rasa bangga para petugas pemerintahan itu, berbanding terbalik dengan sesosok bocah yang sedari tadi memperhatikan “kekejaman” Pemkab Deli Serdang itu.
Bocah berseragam sekolah dasar itu terlihat diam membisu. Dia berdiri terpaku. Tidak bergerak sama sekali. Matanya terus memperhatikan aksi para petugas yang membongkar lapak jualan orang tuanya.
Mungkin dia ingin berteriak dan melawan. Tapi dia takut. Dia hanya seorang anak kecil. Tidak ada apa-apanya di banding petugas Satpol PP yang mayoritas tinggi besar.
Dalam senyapnya itu, tiba-tiba air mata mengalir deras seperti membentuk anak sungai di kedua pipi bocah Kelas II SD itu.
Sejurus kemudian tubuhnya bergetar hebat. Rupanya dia sedang menahan tangis. Tapi dia berusaha menahan agar suara tangisannya tidak keluar. Itulah makanya tubuhnya terlihat bergetar hebat sekali.
Dia tahu lapak tempat berjualan orang tuanya itulah satu-satunya tempat mengais rezeki. Dia tahu lapak jualan itulah yang selama ini memberinya susu dan makanan yang kadang tak memenuhi unsur gizi.
Dia tahu bahwa lapak jualan itulah yang selama ini membayar uang sekolah, buku, pakaian, sepatu bahkan uang jajannya yang tak seberapa.
Dan, hari ini dia tahu lapak jualan yang selama ini membiayai keluarganya telah “dirampas” oleh Pemkab Deli Serdang dengan kejam.
Asa sang bocah SD itu kini hancur berantakan. Cita-cita anak bangsa ini telah “dikubur” dalam-dalam oleh penguasa. Dia pun tak berani lagi berpikir untuk bersekolah setinggi mungkin Sebab, untuk besok pun dia bisa saja harus “berpuasa” menahan lapar.
Tindakan penertiban dan penataan ini terduga hanya kedok untuk memenuhi “pesanan” oligarki yang mengincar lokasi tersebut untuk dijadikan “ladang” bisnis penghasil cuan.
Pedagang tradisional yang dulu mampu bertahan dari hantaman hebat “tsunami” krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1998, telah “dibunuh”. Dulu dianggap “pahlawan” kini malah dijadikan lawan.
Ucapan para pejabat yang kerap didengar dalam kegiatan upacara bahwa kita harus menghargai jasa-jasa para pahlawan, rupanya hanya sebatas kata-kata.
Penderitaan para pedagang tradisional itu pun semakin komplit ketika para wakil rakyat yang dulu “mengemis” suara mereka kala Pileg, justru berdiam diri. Para wakil rakyat yang kerap “berkoar-koar” mengatasnamakan rakyat itu kini malah “tiarap”. Tragis, memang. (***)