TANJUNG MORAWA, BERSAMA
Kasus tanah Desa Dagang Kerawan, Kec. Tanjung Morawa, Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara, pernah menjadi sejarah hitam di negeri ini.
Puluhan warga tewas untuk mempertahankan haknya ketika tanahnya hendak direbut perusahaan perkebunan pada tahun 1953. Bahkan Kabinet Wilopo saat itu runtuh dan bubar akibat kasus berdarah yang merenggut nyawa rakyat tersebut.
Salah seorang warga yang tewas itu bernama Madirsan yang kemudian namanya ditabalkan jadi nama Gang Mardisan salah satu gang di Tanjung Morawa sebagai penghasil bibit bunga terkenal di Sum. Utara.
Ada nama lain yang juga tewas dan ditabalkan namanya jadi nama gang di Tanjung Morawa yakni Gang Darmo, Gang Sukidi dan beberapa orang WNI salah seorang bernama Tan dan kawan-kawannya yang waktu itu tinggal di daerah kebun sayur sekarang.
Karena kasus itulah maka pemerintah menerbitkan alas hak pada tahun 1954 kepada petani yang diberi nama Kartu Tanda Pendaftatan Pendudukan Tanah (KTPPT) yang dilindungi Undang Undang Darurat No. 8 Tahun 1954.
Alas hak itulah yang dimiliki oleh ratusan KK warga Desa Dagang Kerawan. Sejak tahun 1954 rakyat aman mengolah tanahnya.
Tapi kasus lain muncul lagi pada tahun 1965 bersamaan dengan meletusnya pemberontakan G 30 S PKI. Kali ini warga berhadapan dengan PTP IX yang dibantu oleh Puterpra yang sekarang disebut Koramil.
Alas hak rakyat berupa KTPPT yang pernah diberikan pemerintah ditarik satu persatu oleh Puterpra secara paksa. Bagi siapa yang tidak menyerahkan alas haknya itu dituduh PKI dan diancam akan dibawa ke Sei. Ular.
Mendengar nama Sei Ular waktu itu cukup mengerikan. Sejak itu tanah warga sebagian besar dikuasai oleh PTPN IX dan pada tahun 1977 terbitlah HGU PTPN IX yang kemudian tukar bulu jadi PTPN II.
Pada tahun 2000, HGU PTPN II berakhir dan tidak lagi diberikan perpanjangan oleh pemerintah. Pada tahun 2003 pihak PTPN II mengembalikan sertifikat HGU nya kepada pemerintah dalam hal ini Kanwil BPN Sumut.
Berdasarkan SK BPN No 42/2002, tanah eks HGU yang tidak diberikan perpanjangannya maka statusnya jadi tanah yang dikuasai oleh negara, pengaturan penguasaan dan pengusahaan atau pemilikannya diatur oleh Gubernur.
Tapi pada tahun 2005 tanah eks HGU PTPN II itu malah dijualkan oleh Dirut PTPN II Ir H Suwandi kepada Yayasan Pendidikan Nurul Amaliyah pimpinan H Suprianto yang lebih dikenal dengan panggilan Anto Keling seharga Rp 10 miliyar lebih. Tanaman kelapa yang sudah berusia puluhan tahun dan bangunan yang ada habis dibuldozer oleh pihak yayasan.
Semua heboh dan mempertanyakan kewenangan PTPN II menjualkan tanah eks HGU itu kepada yayasan. Protes, demo warga bermunculan. Kemudian salah satu LSM anti korupsi LSM Deli Coruption Watch membuat laporan ke Poldasu.
Dari laporan itulah kemudian Dirut PTPN II Ir H Suwandi dan beberapa unsur Direksi ditangkap Poldasu termasuk ketua Yayasan Pendidikan Nurul Amaliyah H Suprianto ditahan. Kejadian itu di tahun 2006.
Dalam jual beli antara Direksi dengan Anto Keling banyak kejanggalan. Dirut menjualkan tanah itu setelah haknya tidak ada lagi. HGU nya hanya 75,11 Ha, tapi luas yang dijualkan 78,16 Ha.
Anto Keling lalu membuat MoU dengan bupati Deli Serdang tentang petuntukan tanah itu, sementara di atas tanah itu tidak ada kewenangan bupati, tetapi kewenangan gubernur.
Pada saat puasa ini tadi seorang pengusaha membawa nama PT MIP menembok lahan yang ditempati warga dan pedagang. Warga dikurung hidup hidup dengan kekuatan preman kampung. Kenapa PT MIP? Ternyata tanah itu telah diperjualbelikan oleh Yayasan Pendidikan Nurul Amaliyah .
Dipertanyakan kenapa bisa dijual sedangkan sudah ada MoU dengan Bupati DS. Tanah dalam status MoU kok bisa dijual. Bupati kok diam? Konon kabarnya, MoU Bupati itu sudah direvisi oleh Sekda. Kok bisa, MoU Bupati direvisi Sekda.
Kemudian apa pula hak Yayasan menjualkan lahan yang sudah ditetapkan jadi RUTK. UU Yayasan Pendidikan juga telah dilanggar dari sosial jadi pebisnis. Warga yang terkurung tidak diterima mengadu ke manapun. Mereka pernah diundang Polresta DS tapi tidak boleh bicara.
Warga mengira dimediasi oleh Polresta tapi malah ditekan. Celakanya bersamaan dengan panggilan polisi itu pemagaran dituntaskan. Terkurunglah mereka di dalam rumahnya.
Sebentar lagi seluruh tanah eks HGU itu bakal ditembok pihak pembeli karena tanah itu sudah dijual kepada lima PT sesuai dengan surat SS yang diterbitkan Kades Dagang Kerawan.
Perlu dijaga agar kasus tanah yang meruntuhkan Kabinet Wilopo itu tidak terulang. Jangan ada lagi rakyat harus berdarah-darah atau tewas untuk mempertahankan haknya.
Bupati DS harus mengkaji ulang kasus jualbeli tanah eks HGU PTP II atau mengkaji ulang pemberian sertifikat HGB dan SIMB kepada PT yang lebih besar ruginya dari manfaatnya ini. (SES)
IMBAUAN REDAKSI: Virus Corona (Covid-19) mulai mereda. Tapi bukan berarti sudah tak ada. Namun yakinlah Corona takkan bisa berbuat apa-apa kalau kita bersatu dan tetap waspada..!! 💪💪👍👍🙏🙏