Jakarta, Bersamanewstv
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebutkan kondisi keuangan yang saat ini terjadi di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) sudah semakin parah. Ekuitas negatifnya saat ini bahkan lebih parah dibanding dengan kondisi yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo mengatakan saat ini Garuda sudah mengalami negatif ekuitas senilai US$ 2,82 miliar atau setara dengan Rp 40,04 triliun (asumsi kurs Rp 14.200/US$) per September 2021.
“Dan kami tekankan yang mungkin belum terlalu melihat neraca Garuda. Neraca Garuda itu mengalami negatif ekuitas US$ 2,8 miliar. Jadi ini rekor. Kalau dulu rekornya dipegang Jiwasraya, sekarang udah disalip Garuda,” kata Tiko, panggilan akrabnya dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, seperti dilansir cnbcindonesia, Selasa (09/11/2021).
Kondisi ekuitas negatif ini disebabkan karena liabilitas perusahaan yang secara total berjumlah US$ 9,756 miliar atau setara Rp 138,53 triliun, sedangkan nilai aset perusahaan hanya senilai US$ 6,928 miliar atau Rp 98,37 triliun.
Kondisi ini terus memburuk sebab nilai ekuitas negatif ini terus meningkat setiap bulannya sebesar US$ 100 juta-US$ 150 juta (Rp 1,42 triliun-Rp 2,13 triliun) di tengah pandemi ini.
Dengan kondisi ini, Tiko menyebut Garuda sebetulnya secara teknikal bangkrut alias technically bankrupt.
“Nah sementara dalam kondisi seperti ini kalau istilah perbankan sudah technically bankrupt, technically, tapi legally belum. Ini yang sekarang kita berusaha bagaimana kita bisa keluar dari situasi yang secara technically bankrupt, karena practically semua kewajiban Garuda sekarang sudah tidak dibayar, bahkan gaji pun sebagai sudah ditahan,” ungkapnya.
Sebagai gambaran, untuk Jiwasraya hingga 30 November 2020 lalu perusahaan ini mencatatkan ekuitas negatif mencapai Rp 38,6 triliun dengan nilai liabilitas yang jatuh tempo pada 30 November 2020 ini mencapai Rp 19,3 triliun.
Sedangkan secara keseluruhan sampai periode tersebut, nilai utang yang ditanggung oleh Jiwasraya mencapai Rp 54,4 triliun.
Tiko mengatakan dari jumlah total kewajiban US$ 9,756 miliar atau setara Rp 138,53 triliun itu, utang dari sewa pesawat mendominasi mencapai US$ 9 miliar atau setara Rp 128 triliun.
Sebab itu perseroan berkomitmen terus melakukan pembicaraan dengan para lessor untuk melakukan restrukturisasi, menurunkan kewajiban Garuda dari US$ 9,75 miliar menjadi US$ 2,6 miliar.
Pembicaraan itu dilakukan dengan lessor dan juga bank-bank termasuk Bank Himbara dan juga BUMN Pertamina.
“Jadi memang kunci, kalau saya sampaikan bahwa yang menjadi kunci utama sukses atau tidaknya restrukturisasi Garuda ialah persetujuan kreditor. Ini penting karena tanpa adanya persetujuan kreditor tidak mungkin pemegang saham bergerak,” kata Tiko.
“Ini kami tekankan Bapak Ibu, bahwa nasib Garuda ini bukan hanya dari pemegang saham, tapi juga kreditor, karena kreditor juga harus menyadari bahwa tanpa adanya haircut yang signifikan maka neraca Garuda yang tadi ekuitas negatif tidak akan balancing.”
“Dalam 1-2 bulan ini kami aktif negosiasi dengan lessor, bank, Himbara, Pertamina, karena para kreditor harus mengakui dan menerima bahwa harus ada pengurangan utang yang signifikan karena jika tidak, neraca yang technically bankrupt tadi tidak akan survive. (***)
IMBAUAN REDAKSI: Ayoo…Kita lawan virus Corona (Covid-19)..!! Patuhi protokol kesehatan (Prokes)..!! Jaga jarak dua meter, pakai masker, hindari kerumunan dan rajin cuci tangan pakai sabun di air mengalir. Bukan hebat kali Corona itu kalau kita bersatu..!! 💪💪👍👍🙏🙏